Stres

Peran Stres dalam Memahami Hubungan Manusia dengan
Lingkungan :

Stress hubungan antar manusia dan lingkungan, misalnya harapan sosial yang tidak sampai, lingkungan yang tidak aman, beda budaya, lingkungan kotor dan tidak sehat.

Keadaan lingkungan dan masyarakat sangat mempengaruhi seseorang dalam beradaptasi. Keadaan lingkungan yang stabil dan seimbang akan memudahkan seseorang dalam beradaptasi. Sedangkan keadaan masyarakat dengan hubungan sosial yang baik juga akan memudahkan individu dalam melakukan adaptasi agar terhindar dari stress.

kondisi lingkungan juga turut mempengaruhi kejiwaan seseorang. Mulai dari bentuk kamar pancahayaan, tata letak barang dan lain sebagainya. Pengaruh lingkungan ini dapat kita kelompokan dalam 3 kategori yaitu factor inttenal, eksternal dan transcendental. Factor intenal meliputi jati diri yaitu refleksi dari egoisme, kemudian empati berupa kemampuan merasakan apa yang dialami oleh orang lain dan yng terakir adalah altruism yaitu perilaku yang berusaha menolong orang lain yang terkadang sampai mengorbankan dirinya sendiri. Hal yang dianggap baik adalah jika ketiga hal diatas merata dalam jiwa seseorang. Untuk factor eksternal pengarauhnya berupa kepedulian dan kehormatan, dimana rasanya setiap anggota masyarakat akan berusaha mempertahankan kehoramatanya di dalam bermasyarakat. Sedang untuk factor transcendental bersumber pada upaya manusia untuk memperoleh kesejahteraan baik lahir maupun batiniah. Namun seringkali dalam upaya memenuhi kebutuhan ini manusia menjadi terpengaruh oleh sikap yang salah yaitu berfikir bahwa semua yang ia dapat adalah hasil jerih payah dia sendiri yang akhirnya membuat manusia tidak sadar terjerumus dalm keadaan dimana nafsu telah menguasai keseluruhan jiwanya sehingga manusia akan melampaui batas dalam mengeksploitasi alam ini. Dan yang lebih parah adalah ketika manusia ini kemudian mengkalim bahwa diri mereka adalah yang paling benar sehingga kadang secara tidak sadar merusak alam dengan dalih melakukan perbaikan yang nota bene yang diperbaiki adalah sesuatu yang sebenarnya tak perlu diperbaiki atau diperbaiki dengan jalan yang lain bukan dengan jalan yang sedang diupayakanya.

sumber :Sumber : www.stressfree.com
http://www.csun.edu/~vcpsy00h/students
ibuprita.suatuhari.com

Posted in Psikologi Lingkungan | Leave a comment

Stres

Jenis Stres :

Ditinjau dari penyebabnya, stress dapat dibagi dalam beberapa jenis sebagai berikut:
1.      Stres fisik, merupakan stress yang disebabkan oleh keadaan fisik, seperti suhu yang terlalu tinggin atau terlalu rendah, suara bising, sinar matahari yang terlalu menyengat, dlln.
2.      Stress kimiawi, merupakan stress yang disebabkan oleh pengaruh senyawa kimia yang terdapat pada obat-obatan, zat beracun asam, basa, faktor hormone atau gas, dlln.
3.      Stress mikrobiologis, merupakan stress yang disebabkan oleh kuman, seperti virus, bakteri, atau parasit.
4.      Stress fisiologis, merupakan stress yang disebabkan oleh gangguan fungsi organ tubuh, antara lain gangguan struktur tubuh, fungsi jaringan, organ, dlln.
5.      Stress proses tumbuh kembang, merupakan stress yang disebabkan oleh proses tumbuh kembang seperti pada masa pubertas, pernikahan, dan pertambahan usia.
6.      Stress psikologis dan emosional, merupakan stress yang disebabkan oleh gangguan situasi psikologis atau ketidakmampuan kondisi psikologis untuk menyesuaikan diri, misalnya dalam hubungan interpersonal, sosial budaya, atau keagamaan.

Stres Lingkungan :

Teori stress lingkungan pada dasarnya merupakan aplikasi teori stress dalam lingkungan. Berdasarkan model input proses output, maka ada 3 pendekatan dalam stress, yaitu : stress bagi stressor, stress sebagai respon atau reaksi, dan stress sebagai proses. Oleh karenanya, stress terdiri atas 3 komponen, yaitu stressor, proses, dan respon. Stressor merupakan sumber atau stimulus yang mengancam kesejahteraan seseorang, misalnya suara bising, panas atau kepadatan tinggi. Respon stress adalah reaksi yang melibatkan komponen emosional, pikiran, fisiologis dan perilaku. Proses merupakan proses transaksi antara stressor dengan kapasitas dengan kapasitas diri. Oleh karenanya, istilah stress tidak hanya merujuk pada sumber stress, respon terhadap sumber stress saja, tetapi keterikatan antara ketiganya. Artinya, ada transaksi antara sumber stress dengan kapasitas diri untuk menentukan reaksi stress. Jika sumber stress lebih besar daripada kapasitas diri maka stress negatif akan muncul, sebaiknya sumber tekanan sama dengan atau kurang sedikit dari kapasitas diri maka stress positif akan muncul. Dalam kaitannnya dengan stress lingkungan, ada transaksi antara karakteristik lingkungan dengan karakteristik individu yang menentukan apakah situasi yang menekan tersebut menimbulkan stress atau tidak. Udara panas bagi sebagian orang menurunkan kinerja, tetapi bagi orang lain yang terbiasa tinggal di daerah gurun, udara panas tidak menghambat kinerja.

Fisher (1984) melakukan sintesa pendekatan stress fisiologis dari Hans Selye dan pendekatan psikologi dari Lazarus, yang terlihat dalam bagan berikut ini :

Ada tiga tahap stress dari Hans Selye, yaitu tahap reaksi tanda bahaya, resistensi, dan tahap kelelahan. Tahap reaksi tanda bahaya adalah tahap dimana tubuh secara otomatis menerima tanda bahaya yang disampaikan oleh indera. Tubuh siap menerima ancaman atau menghindar terlihat dari otot menegang, keringat keluar, sekresi adrenalin meningkat, jantung berdebar karena darah dipompa lebih kuat sehingga tekanan darah meningkat. Tahap resistensi atau proses stress. Proses stress tidak hanya bersifat otomatis hubungan antara stimulus respon, tetapi dalam proses disini telah muncul peran-peran kognisi. Model psikologis menekankan peran interpretasi dari stressor yaitu penilaian kognitif apakah stimulus tersebut mengancam atau membahayakan. Proses penilaian terdiri atas 2 yaitu : penilaian primer dan penilaian sekunder. Penilaian primer merupakan evaluasi situasi apakah sebagai situasi yang mengancam, membahayakan, ataukah menantang. Penilaian sekunder merupakan evaluasi terhadap sumber daya yang dimiliki, baik dalam arti fisik, psikis, sosial, maupun materi. Proses penilaian primer dan sekunder akan menentukan strategi coping (Fisher 1984) dapat diklasifikasikan dalam direct action (pencarian informasi, menarik diri, atau mencoba menghentikan stressor) atau bersifat palliatif yaitu menggunakan pendekatan psikologis (meditasi, menilai ulang situasi dsb). Jika respon coping ini tidak adekuat mengatasi stressor, padahal semua energi telah dikerahkan maka orang akan masuk pada fase ketiga yaitu tahap kelelahan. Tetapi, jika orang sukses, maka orang dikatakan mampu melakukan adaptasi. Dalam psroses adaptasi tersebut memang mengeluarkan biaya dan sekaligus memetik manfaat.

Sumber : www.stressfree.com
http://www.csun.edu/~vcpsy00h/students
ibuprita.suatuhari.com

Posted in Psikologi Lingkungan | Leave a comment

Stres

Pengertian Stres :
Stres dapat didefenisikan sebagai, “respons adaptif, dipengaruhi oleh karakteristik individual dan/atau proses psikilogis, yaitu akibat dari tindakan, situasi, atau kejadian eksternal yang menyebabkan tuntutan fisik dan/atau psikologis terhadap seseorang.”(Invacevich dan Matteson, 1980 dalam Kreitner dan Kinicki,2004.)

Walter Cannon,1920, merupakan respons fisiologis terhadap naiknya emosi dan menekankan fungsi adaptif dari reaksi “fight-or-flight” (menghadapi atau lari dari stress). Sementara hans Seyle, 1976, menyatakan bahwa stres merupakan situasi di mana suatu tuntutan yang sifatnya tidak spesifik dan mengharuskan seseorang memberikan respons atau mengambil tindakan.

Menurut Claude Bernard, 1867, (dalam Potter dan Perry, 1997), “perubahan dalam lingkungan internal dan eksternal dapat menggangu fungsi organisme sehingga penting bagi organisme tersebut untuk beradaptasi terhadap stresor agar dapat bertahan. Jadi, stresor merupakan stimuli yang mengawali atau memicu perubahan yang menimbulkan sters. Stress mewakili kebutuhan yang tidak terpenuhi, bias berupa kebutuhan fisiologis, psikologis, sosial, lingkungan, spiritual, dsb.

Model Stres :

Akar dan dampak stress dapat dipelajari dari sisi medis dan model teori perilaku. Model stress ini dapat digunakan untuk membantu pasien mengatasi respons yang tidak sehat dan tidak produktif terhadap stressor.
a. Model Berdasarkan Respons
Model stress ini menjelaskan respons atau pola respons tertentu yang dapat mengidentifikasikan stressor. Model stress yang dikemukakan oleh Selye, 1976, menguraikan stress sebagai respons yang tidak spesifik dari tubuh terhadap tuntutan yang dihadapinya. Stress ditunjukkan oleh reaksi fisiologis tertentu yang disebut sindrom adaptasi umum ( general adaptation syndrome-GAS )
b. Model Berdasarkan Adaptasi
Model ini menyebutkan empat faktor yang menentukan apakah suatu situasi menimbulkan stress atau tidak ( Mechanic, 1962 ), yaitu:
1.    Kemampuan untuk mengatasi stress, bergantung pada pengalaman seserang dalam menghadapi stress serupa, system pendukung, dan persepsi keseluruhan terhadap stress.
2.   Praktik dan norma dari kelompok atau rekan-rekan pasien yang mengalami stress. Jika kelompoknya menggap wajar untuk membicarakan stressor, maka pasien dapat mengeluhkan atau mendiskusikan hal tersebut. Respons ini dapat membantu proses adaptasi terhadap stress.
3.    Pengaruh lingkungan social dalam membantu seseorang menghadapi stressor. Seorang mahasiswa yang resah menghadapi hasil ujian akhirnya yang pertama dapat mencari pertolongan dosennya. Dosen dapat memberikan penilaian dan selanjutnya memberikan referensi kepada asisten dosen tertentu yang menurutnya mampu membantu kegiatan belajar mahasiswa tersebut. Dosen dan asisten dosen dalam contoh ini merupakan sumber penurun tingginya stressor yang dialami mahasiswa tersebut.
4.    Sumber daya dapat digunakan untuk mengatasi stressor. Misalnya, seorang penderits sakit yang kurang mampu dalam hal keuangan dapat memperoleh bantuan tunjangan Askes dari perusahaan tempatnya bekerja untuk kemudian berobat di rumah sakit yang memadai. Hal ini mempengaruhi cara pasien untuk mendapatkan askes ke sumber daya yang dapat membantunya mengatasi stresir fisiologis.
c. Model Berdasarkan Stimulasi
Model ini berfokus pada karakteristik yang bersifat menggangu atau merusak dalam lingkungan. Riset klasik yang mengungkapkan stress sebagai stimulus telah menghasilkan skala penyesuaian ulang sosial, yang mengukur dampak dari peristiwa-peristiwa besar dalam kehidupan seseorang terhadap penyakit yang dideritanya (Holmes dan Rahe, 1976). Asumsi-asumsi yang mendasari model ini adalah:
1.    Perisrtiwa-peristiwa yang mengubah hidup seseorang merupakan hal normal yang membutuhkan jenis dan waktu penyesuaian yang sama.
2.    Orang adalah penerima stress yang pasif; persepsi mereka terhadap suatu peristiwa tidaklah relevan.
3.    Semua orang memiliki ambang batas stimulus yang sama dan sakit akan timbul setelah ambang batas tersebut terlampaui.
d. Model berdasarkan Transaksi
Model ini memandang orang dan lingkungannya dalam hubungan yag dinamis, resiprokal, dan interaktif. Model ini dikembangkan oleh Lazarus dan Folkman ini menganggap stressor sebagai respons perceptual seseoarng yang berakar dari proses dan kognitif. Stress berasal dari hubungan antara orang dan lingkungannya

Sumber : www.stressfree.com
http://www.csun.edu/~vcpsy00h/students
ibuprita.suatuhari.com

Posted in Psikologi Lingkungan | Leave a comment

Privasi

Pengertian Privasi :

Privasi adalah kemampuan satu atau sekelompok individu untuk mempertahankan kehidupan dan urusan personalnya dari publik, atau untuk mengontrol arus informasi mengenai diri mereka.

Pengertian interaksi menurut beberapa tokoh yaitu :

  • Rapoport    : Kemampuan untuk mengontrol interaksi memperoleh pilihan dan mencapai interaksi yang diinginkan
  • Marshall     : Pilihan untuk menghindari diri dari keterlibatan dengan orang dan lingkungan sosial.
  • Altman       : Proses pengontrolan yang selektif terhadap akses kepada diri
    sendiri  dan akses kepad orang lain
  • Dibyo Hartono (1986) : Privasi merupakan tingkatan interaksi atau keterbukaan yang dikehendaki seseorang pada suatu kondisi atau situasi tertentu. Tingkatan privasi yang diinginkan menyangkut keterbukaan atau ketertutupan , yaitu adanya keinginan untuk berinteraksi dengan orang lain atau justru ingin menghindar atau berusaha supaya sukar di capai orang lain
Faktor Pengaruh Privasi
1.Faktor Personal
Latar belakang pribadi memiliki kaitan yang erat dengan kebutuhan akan privasi

2.Faktor Situasional
Dari beberapa penelitian dapat disimpulkan bahwa kepuasan terhadap kebutuhan akan privasi sangat berhubungan dengan seberapa besar lingkungan mengijinkan orang-orang didalamnya untuk menyendiri (Gifford dalam Prabowo, 1998)

3.Faktor Budaya

terdapat perbedaan pandangan mengenai privasi atau bagaimana individu mendapatkan privasinya dalam setiap budaya dimana ia berada.
Pengaruh Privasi terhadap Perilaku
Pengaruh privasi terhadap perilaku dipicu dari berbagai sumber :
  • Altman (1975) menjelaskan bahwa fungsi psikologis dari prilaku yang penting adalah untuk mengtur interaksi antara seseorang atau kelompok dengan lingkungan social
  • Maxine Walfe dan kawan-kawan (dalam Holahan, 1982) mencatat bahwa pengelolaan hubungan interpersonal adalah pusat dari pengalaman tentang privasi dalam khidupan sehari-hari.
  • Westin (dalam Holahan , 1982 ) bahwa ketertutupan terhadap informasi yang personal yang selektif, memenuhi kebutuhan individu untuk membagi kepercayaan dengan orang lain
Privasi dalam Konteks Budaya

Perbedaan wilayah Geografis berdampak pada perbedaan privasi yang terdapat pada penduduk yang berada diwilayahnya. Di Amerika banyak orang menggunakan ruang-ruang tertentu seperti kamar tidur, kamar mandi dan ruang makan untuk menyendiri.
sumber : Prabowo, Hendro. (1998). Arsitektur,Pikologi dan masyarakat. Depok: Gunadarma
http://azhenk2009.blogspot.com/2010/04/privasi-dan-teritorial-manusia.html
http://webcache.googleusercontent.com

Posted in Psikologi Lingkungan | Leave a comment

Teritorialitas

  • Holahan(dalam Iskandar 1990), mengungkapkan bahwa teritorialitas adalah suatu tingkah laku yang diasosiasikan pemilikan atau tempat tempat yang ditempatinya atau area yang sering melibatkan ciri pemilikannyadan pertahanan dari serangan orang lain. Dengan demikian menurut Altman(1975) penghuni tersebut dapat mengontrol daerahnya atau unitnya dengan benar atau merupakan suatu teritorialitas primer
  • Elemen Teritorialitas :
    Menurut Lang (1987) , terdapat empat karakter dalam teritorialitas yaitu :

1. Kepemilikan atau Hak dari suatu tempat,
2. Personalisasi atau penandaan dari suatu area tertentu,
3. Hak untuk mempertahankan diri dari gangguan luar, dan
4. Pengatur dari beberapa fungsi, mulai dari bertemunya kebutuhan dasar
psikologis sampai kepada kepuasan kognitifdan kebutuhan – kebutuhan estetika

Porteus (dalam Lang 1987) mengidentifikasikan ada 3 kumpulan tingkat spasial yang saling terkait satu sama lain :

  1. Personal Space : Yang telah banyak dibahas dimuka
  2. Home Base : Ruang-ruang yang dipertahankan secara aktif
  3. Home Range : seting perilaku yang terbentuk dari bagian kehidupan seseorang

Altman membagi teritorialitas menjadi tiga yaitu : teritorial primer, teritorial sekunder dan teritorial umum

Teritorialitas Primer

Jenis teritori ini dimiliki serta dipergunakan secara khusus bagi pemiliknya. Pelanggaran terhadapteritori utama ini akan menimbulkan perlawanan dari pemiliknyadan ketidakmampuan untuk mempertahankan teritori utama ini akan mengakibatkan masalah serius terhadap psikologis pemiliknya, yaitu dalam hal harga diri dan identitas.

contoh teritorial berdasarkan di kehidupan sehari – hari misalnya :

Ruang kerja

Ruang tidur

Teritori Sekunder

Jenis teritori ini lebih longgar pemakaian dan kontrol perorangannya. Teritorial ini dapat digunakan orang lainyang masih di dalam kelompok ataupun orang yang mempunyai kepentingan kepada kelompok itu. Sifat teritorial sekunder adalah semi – publik.

contoh teritorial berdasarkan di kehidupan sehari – hari misalnya :

Kantor

Toilet

Teritorial Umum

Teritorial umum dapat digunakan oleh setiap orang dengan mengikuti aturan – aturan yang lazim di dalam masyarakat dimana teritorial umum itu berada. Teritorial umum dapat dipergunakan secara sementara dalam jangka waktu lama maupun singkat.

contoh teritorial berdasarkan di kehidupan sehari – hari misalnya :

Ruang kuliah

Bangku Bus

Perilau teritorialitas manusia dalam hubungannya dengan lingkungan binaan dapat dikenal antara lain pada penggunaan elemen-elemen fisik untuk menandai demarkasi teritori yang dimiliki seseorang,
misalnya pagar halaman.

Teritorialitas ini terbagi sesuai dengan sifatnya yaitu mulai dari yang privat sampai dengan publik.Ketidakjelasan pemilikan teritorial akan menimbulkan gangguan terhadap perilaku.
  • Teritorialitas dan perbedaan budaya
    Teritorialitas pada setiap negara berbeda-beda tergantung dari budaya yang dimiliki oleh negara tersebut. Jenis kelamin juga mempengaruhi teritorialitas seeorang, dimana wanita memerlukan ruang yang lebih kecil dibandingkan pria. Lalu penduduk desa lebih tinggi toleransinya dalam menentukan teritorialitasnya dibandingkan dengan penduduk yang tinggal diperkotaan.
sumber : e-learning.gunadarma.ac.id
bukan arsitek biasa

http://file.upi.edu

Posted in Psikologi Lingkungan | Leave a comment

Perilaku Manusia dan Lingkungan

Barangkali tidak adil jika kita  menempatkan manusia dengan segala kesempurnaannya sebagai pelaku utama rusaknya lingkungan disekitar kita. Namun, karena kesempurnaan yang dimilikinya manusia melakukan apa saja untuk memuaskan hasrat mereka tanpa mengindahkan kerugian pada pihak kedua, ketiga, dan seterusnya. Mereka melupakan bahwa ada siklus yang berputar dan saling bergantung satu sama lain.

Manusia mengubah wajah bumi melebihi spesies manapun dalam sejarah dunia, dan laju tersebut semakin meningkat seiring bertambahnya jumlah penduduk dunia, perkembangan teknologi, kebutuhan pangan yang melonjak tinggi, serta penggunaan moda transportasi yang berkembang pesat. Dan sayangnya, dibalik itu semua, terkadang kita melupakan bahwa ada makhluk-makhluk lain yang terabaikan.

Ekspansi dan Keserakahan
Keberadaan jalan raya, jalan bebas hambatan, jalan layang, jalur kereta api memang membantu menyebarkan pengaruh manusia lebih jauh, memperluas jangkauan manusia, dan memudahkan perniagaan serta mempersingkat perjalanan. Namun timbal baliknya adalah mendorong perambahan disekitar kota, membawa perburuan, pembalakan, dan pertanian ke hutan yang semula tidak terjangkau tangan manusia. Infrakstruktur yang berkembang pesat itu bisa pula menghancurkan habitat, meningkatkan polusi, dan mempercepat ekspansi perkotaan ke daerah pedesaan.

Hutan dibuka menjadi lahan pertanian, dengan hampir 35% lahan di bumi yang bebas es sudah dikuasai untuk lahan tanaman pangan dan padang rumput, sebagian lahan pertanian yang baru itu didapatkan manusia dengan jalan membuka hutan. Membuka hutan berarti merampas hak hidup ekosistem didalamnya. Jutaan hektar lahan gambut di Indonesia hancur setiap tahunnya akibat dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. ”Setiap tahunnya populasi orang utan menurun dengan cepat karena menjadi korban secara langsung dari kebakaran hutan, menjadi target perburuan, atau karena hutan sebagai habitat mereka telah rusak akibat keserakahan manusia.” (Newsletter GREENPEACE Edisi 3 Tahun 2008.)

Kerusakan hutan akibat terus-menerus dikonversi untuk perluasan lahan kelapa sawit di beberapa titik hutan di Sumatera, Kalimantan, dan Papua telah mendorong terjadinya perubahan iklim dan menggiring keberadaan habitat orang utan dan satwa lainnya menuju kepunahan. Tidak hanya perampasan hak hidup orang utan, namun juga masyarakat yang berdiam dan menggantungkan hidupnya pada hutan, seperti suku Anak Dalam di Jambi. Karena kapitalisme telah menunjukkan wataknya, secara agresif hutan-hutan di Indonesia berubah dengan cepat dikuasai oleh swasta, termasuk para pemilik perkebunan kelapa sawit.

Hutan yang direnggut dengan cara dibakar jelas berdampak besar pada kualitas udara yang manusia hirup. Asap dan gas rumah kaca dari hutan-hutan yang terbakar bergabung dengan asap kendaraan, polusi pabrik, dan pembangkit listrik telah mengubah atmosfer kita, mengacaukan sistem musim yang ada, serta membunuh jutaan manusia akibat berbagai jenis penyakit yang ditimbulkan akibat efek polusi.

Keberadaan Sampah Plastik
Kantong plastik masih menjadi pilihan utama sebagian besar dari manusia untuk mengemas belanjaan. Padahal kantong plastik yang berbahan dasar minyak bumi tidak bisa terurai oleh alam dan berbahaya bagi lingkungan dan kehidupan satwa liar.

Kantong plastik murah dengan berbagai warna memang punya banyak manfaat dan keberadaannya pun berlimpah. Sekitar 500 miliar sampai 1 triliun kantong plastik dipakai diseluruh dunia setiap tahunnya. Namun, sebagian besar hanya sekali pakai dan kemudian dibuang ke berbagai tempat, seperti tempat sampah, sungai, laut, dipendam dalam tanah, bahkan dibakar. Jutaan plastik yang dibuang ke laut menyumbat lingkungan dan membunuh satwa seperti penyu dan anjing laut!!. Plastik yang dibuang ke sungai menjadi salah satu penyebab utama banjir yang terjadi di berbagai kota di Indonesia, contoh kota Jakarta. Plastik menyumbat saluran sungai, gorong-gorong got hingga air hujan meluap ke jalanan. Plastik yang dibakar menghasilkan zat kimia yang berbahaya bila terhirup oleh manusia.

Walaupun plastik bisa didaur ulang, namun tidak seluruh kantong plastik bisa diolah kembali dipabrik. Kantong plastik bekas yang hanyut di sungai atau laut kerap membahayakan hewan serta tidak terurai dengan baik di alam. Kurangi penggunaannya dengan memakai kantong plastik berulang kali. Cara yang paling tepat ialah mengganti kantong plastik dengan kantong kain saat berbelanja

Ada banyak fenomena alam yang perlu kita kaji di dunia ini. Mulai dari hal yang kecil hingga hal yang lebih besar. Layaknya sebuah fenomena bola salju. Yang jika terus menggelinding akan berubah menjadi besar. Seperti kita ketahui bahwa dunia ini luas, sungguh sayang sekali jika kita harus melewati hidup ini hanya berada dalam sebuah ruang/kotak. Keindahan alam bumi ini perlu kita telusuri, dari sini maka kita akan mengenal siapa sesungguhnya manusia itu?. Untuk apa manusia ada di bumi ini?. Namun untuk mencoba menelusuri semua itu ada baiknya kita mulai dari diri sendiri dan apa yang ada di sekitar kita ataupun lingkungan. Manusia hanya merupakan parsial dari lingkungan hidupnya. Mereka hidup dalam ruang yang sudah tersedia dengan segala sesuatunya. Namun ada juga yang perlu dibuat ataupun di rekayasa. Dari sini kita bisa melihat bahwa manusia berperan sebagai makhluk yang berakal. Dengan adanya pikiran itu maka manusia bisa merekayasa lingkungan. Atas rekayasa itu menjadikan berbagai macam bentuk dan warna dalam kehidupan. Kita bisa melihat lingkungan sekitar kita ada yang masih seperti dahulu dan ada juga yang telah berubah. Seperti halnya dengan lokasi rumah di dalam suatu lingkungan masyarakat.

Rumah menjadi tempat berlindung manusia dari panas dan hujan, tapi dalam pengertian luas rumah memiliki aspek psikologis dalam bermasyarakat. Perbedaan rumah di kota dengan di desa dapat kita lihat dari jarak diantara rumah tersebut. Rumah di desa umumnya berjarak berjauhan, sedangkan di kota jarak rumah berdekatan. Penduduk desa yang jarak rumahnya berjauhan tapi mereka saling mengenal satu sama lain. Mereka memiliki kedekatan emosi yang terjalin dari interaksi yang konsisten. Dari sini kita melihat bahwa mereka menyadari bahwa sesungguhnya manusia adalah makhluk sosial, makhluk yang memerlukan orang lain dalam hidupnya. Lalu bagaimana dengan lingkungan di kota, jarak rumah yang berdekatan hanya sedikit yang menghasilkan sebuah interaksi satu dengan yang lain. Mereka memiliki sebuah ego yang mengatasnamakan keakuannya. Sehingga mereka yakin bahwa lingkungan berpisah dengan dirinya. Hal ini juga terjadi dalam dunia barat, yang beranggapan bahwa kita terpisah dari lingkungan. Anggapan ini meyakini bahwa manusia bisa dengan seenaknya memanipulasi lingkungan. Namun, pada kenyataannya, lingkungan pun mampu mempengaruhi kehidupan dalam perilaku manusia.

sumber :National Geographic Indonesia Edisi Khusus Detak Bumi dan Green Living Guide
umum.kompasiana.com
openlibrary.org/books/OL3742125M

Posted in Psikologi Lingkungan | Leave a comment

Tugas Minggu ke-7 (Ruang Personal)

  • Istilah personal space pertama kali digunakan oleh Katz pada tahun 1973 dan bukan merupakan sesuatu yang unik dalam istilah psikologi, karena istilah ini juga dipakai dalam bidang biologi, antropologi, dan arsitektur (Yusuf, 1991).
  • Masalah mengenai ruang personal ini berhubungan dengan batas-batas di sekeliling seseorang. Menurut Somrner (dalam Altman, 1975) ruang personal add& daerah di sekeliling seseorang’ dengan batas-batas yang tidak jelas dirnana seseoriing ti& boleh memasukinya. Goffman (dalam Altman, 1975) menggambarkan nmng personal sebagai jarakldaerah di sekitar individu dimana jika dimasuki orang lain, menyebabkan ia merasa batasnya dilanggar, merasa tidak senang, dan kadang-kadang menarik diri
  • Beberapa definisi ruang personal secara implisit berdasarkan hasil-hasil penelitian, antara lain: Pertama, ruang personal adalah batas-batas yang tidak jelas antara seseorang : dengan orang lain. Kedua, ruang personal sesungguhnya berdekatan dengan diri sendiri. Ketiga, pengaturan ruang personal mempakan proses dinamis yang memungkinkan diri kita keluar darinya sebagai suatu perubahan situasi. Keempat, ketika seseorang melanggar ruang personal orang lain, makadapat berakibat kecemasan, stres, dan bahkanperkelahian. Kelima, ruang personal berhubungan secara langsung dengan jarak-jarak antar manusia, walaupun ada tiga orientasi dari orang lain: berhadapan, saling membelakangi, dan searah
  • Dalam eksperimen Waston & Graves (dalam Gifford, 1987), yang mengadakan studi perbedaan budaya secara terinci, mereka menggunakan sampel kelompok siswa yang terdiri dari empat orang yang &mint:: dztang ke laboratorium. Siswa-siswa ini diberitahu bahwa mereka &an diamati, tetapi tanpa diberi petunjuk atau perintah. Kelompok pertarna terdiri dari orang-orang Arab dan kelcmpok lainnya terdiri dari orang Amerika. Rerata jarak interpersonal yang dipakai orang Arab kira-kira sepanjang dari perpanjangan tangannya. Sedangkan jarak interpersonal orang Amerika terlihat lebih jauh. Orang-orang Arab menyentuh satu sama lain lebih sering dan orientasinya lebih langsung. Umumnya orang Arab lebih dekat daripada orang Amerika.
  • Hall (dalam Altman, 1976) menggambarkan bahwa kebudayaan Arab memiliki pengindraan yang tinggi, di mana orang-orang berinteraksi dengan sangat dekat: hidung ke hidung, menghembuskan napas di muka orang lain, bersentuhan dan sebagainya. Kebudayaan Arab (juga Mediterania dan Latin) cenderung berorientasi kepada “kontak” dibandingkan dengan Eropa Utara dan Kebudayaan Barat. Jarak yang dekat dan isyarat-isyarat sentuhan, penciuman, dan panas tubuh tampaknya merupakan ha1 yang lazim dalam “budaya kontak”
  • Hall (dalam Altman, 1976) juga mengamati bahwa orang-orang Jepang menggunakan ruang secara teliti. Hal diduga merupakan respon terhadat populasi yang padat. Keluarga-keluarga Jepang memiliki banyak kontak interpersonal yang dekat; seringkali tidur bersamasarna dalam suatu ruangan dengan susunan yang tidak beraturan atau melakukan berbagai aktivitas dalarn mang yang sama. Pengaturan taman, pemandangan dam, dan bengkel kerja merupakan bentuk dari kreativitas dengan tingkat perkembangan yang tinggi yang saling pengaruh-mempengaruhi di antarasemuarasa yang ada, rnenunjukkan pentingnya hubungan antara manusia dengan lingkungannya

https://psikologilingkunganrahmawati.wordpress.com/wp-admin/post-new.php

sumber file.upi.edu/ai.php
avin.staff.ugm.ac.id
http://www.linkpdf.com/download/dl/definisiruang

Posted in Psikologi Lingkungan | Leave a comment

Tugas Minggu Ke-6 (Kesesakan)

Beberapa definisi kesesakan menurut beberapa ahli :
– Menurut Altman (1975), kesesakan adalah suatu proses interpersonal pada suatu tingkatan interaksi manusia satu dengan lainnya dalam suatu pasangan atau kelompok kecil. Perbedaan pengertian antara crowding (kesesakan) dengan density (kepadatan) tidaklah jelas benar, bahkan kadang – kadang keduanya memiliki pengertian yang sama dalam merefleksikan pemikian secara fisik dari sejumlah manusia dalam suatu ksatuan ruang.
– Stokols (dalam Altman, 1975) membedakan antara kesesakan bukan sosial (nonsocial crowding), yaitu dimana factor – factor fisik menghasilkan perasaan terhadap ruang yang tidak sebanding, seperti sebuah ruang yang sempit, dan kesesakan sosial (social crowding) yaitu perasaan sesak mula-mula datang dari kehadiran orang lain yang terlalu banyak. Stokols juga menambahkan perbedaan antara kesesakan molekuler (molecular crowding), yaitu perasaan sesak yang menganalisa mengenai individu, kelompok kecil dan kejadian-kejadian interpersonal dan kesesakan molar (molar crowding), yaitu perasaan sesak yang dapat dihubungkan dengan skala luas, populasi penduduk kota.
– Morris (dalam Iskandar, 1990) memberi pengertian kesesakan sebagai defisit suatu ruangan. Hal ini berarti bahwa dengan adanya sejumlah orang dalam suatu hunian rumah, maka ukuran per meter persegi setiap orangnya menjadi kecil, sehingga dirasakan adanya kekurangan ruang. Dalam suatu unit hunian, kepadatan ruang harus diperhitungkan dengan mebel dan peralatan yang diperlukan untuk suatu aktivitas. Oleh karenanya untuk setiap ruang akan memerlukan suatu ukuran standar ruang yang berbeda, karena fungsi dari ruang itu berbeda.
– Rapoport (dalam Stokols dan Altman, 1987) mengatakan, kesesakan adalah suatu evaluasi subjektif dimana besarnya ruang dirasa tidak mencukupi, sebagai kelanjutan dari persepsi langsung terhadap ruang yang tersedia.
Kesimpulan yang dapat diambil adalah pada dasarnya batasan kesesakan melibatkan persepsi seseorang terhadap keadaan ruang yang dikaitkan dengan kehadiran sejumlah manusia, dimana ruang yang tersedia dirasa terbatas atau jumlah manusianya yang dirasa terbatas atau jumlah manusianya yang dirasa terlalu banyak.

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kesesakan
Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi kesesakan yaitu: personal, sosial, dan fisik, yang akan dibahas satu persatu.
Faktor Personal. Faktor personal terdiri dari :
a) Kontrol pribadi dan locus of control
b) Budaya, pengalaman, dan proses adaptasi
Faktor Sosial. Faktor sosial yang berpengaruh adalah:
a) Kehadiran dan perilaku orang lain
b) Formasi koalisi
c) Kualitas hubungan
d) Informasi yang tersedia
Faktor Fisik. Gove dan Hughes (1983) menemukan bahwa kesesakan di dalam rumah berhubungan dengan faktor – faktor fisik yang berhubungan dengan kondisi rumah seperti jenis rumah, urutan lantai, ukuran rumah (perbandingan jumlah penghuni dan luas ruangan yang tersedia) dan suasana sekitar rumah. Jenis rumah di sini dibedakan atas unit hunian tunggal, kompleks perubahan dan rumah susun. Menurut beberapa penelitian didapati bahwa kesesakan yang paling tinggi ada pada rumah susun, kemudian pada kompleks perumahan dan baru setelah rumah tunggal (unit hunian tunggal).
Altman (1975), Bell dan kawan-kawan (1978), Gove dan Hughes (1983) menambahkan adanya faktor situasional sekitar rumah sebagai faktor yang juga mempengaruhi kesesakan. Stressor yang menyertai faktor situasional tersebut seperti suara gaduh, panas, polusi, sifat lingkungan, tipe suasana, dan karakteristik seting (tipe rumah, tingkat kepadatan). Faktor situasional tersebut antara lain:
a) Besarnya skala lingkungan
b) Variasi arsitektural

Pengaruh Kesesakan Terhadap Perilaku Menurut Beberapa Ahli
– Aktivitas seseorang akan terganggu oleh aktivitas orang lain
– Interaksi interpersonal yang tidak diinginkan akan mengganggu individu dalam mencapai tujuan personalnya
– Gangguan terhadap norma tempat dapat meningkatkan gejolak dan ketidaknyamanan (Epstein, 1982) serta disorganisasi keluarga, agresi, penarikan diri secara psikologi (psychological withdrawal)
– Menurunnya kualitas hidup (Freedman, 1973).
– Penurunan – penurunan psikologis, fisiologis, dan hubungan sosial individu. Pengaruh psikologis yang ditimbulkan oleh kesesakan antara lain adalah perasaan kurang nyaman, stres, kecemasan, suasana hati yang kurang baik, prestasi kerja dan prestasi belajar menurun, agresivitas meningkat, dan bahkan juga gangguan mental yang serius.
– Malfungsi fisiologis seperti meningkatnya tekanan darah dan detak jantung, gejala – gejala psikosomatik, dan penyakit – penyakit fisik yang serius (Worchel dan Cooper, 1983).
– Kenakalan remaja, menurunnya sikap gotong-royong dan saling membantu, penarikan diri dari lingkungan sosial, berkembangnya sikap acuh tak acuh, dan semakin berkurangnya intensitas hubungan sosial (Holahan, 1982)
– Fisher dan Byrne (dalam Watson dkk., 1984) menemukan bahwa kesesakan dapat mengakibatkan menurunnya kemampuan menyelesaikan tugas yang kompleks, menurunkan perilaku sosial, ketidaknyamanan dan berpengaruh negatif terhadap kesehatan dan menaikkan gejolak fisik seperti naiknya tekanan darah (Evans, 1979).

Dari sekian banyak akibat negatif kesesakan pada perilaku manusia, Brigham (1991) mencoba menerangkan dan menjelaskannya menjadi :
(1) pelanggaran terhadap ruang pribadi dan atribusi seseorang yang menekan perasaan yang disebabkan oleh kehadiran orang lain;
(2) keterbatasan perilaku, pelanggaran privasi dan terganggunya kebebasan memilih;
(3) kontrol pribadi yang kurang
(4) stimulus yang berlebihan.
Freedman (1975) memandang kesesakan sebagai suatu keadaan yang dapat bersifat positif maupun negatif tergantung dari situasinya. Jadi kesesakan dapat dirasakan sebagai suatu pengalaman yang kadang-kadang menyenangkan dan kadang-kadang tidak menyenangkan.
Walaupun pada umumnya kesesakan berakibat negatif pada perilaku seseorang, tetapi menurut Altman (1975) dan Watson dkk. (1984), kesesakan kadang memberikan kepuasan dari kesenangan. Hal ini tergantung pada tingkat privasi yang diinginkan, waktu dan situasi tertentu, serta setting kejadian. Situasi yang memberikan kepuasan dan kesenangan bisa kita temukan, misalnya pada waktu melihat pertunjukan musik, pertandingan olahraga atau menghadiri reuni atau resepsi.

sumber :elearning.gunadarma.ac.id/…/bab4-kepadatan
digilib.umm.ac.id/
pdfonair.co.cc/pdf/definisi-kesesakan

Posted in Psikologi Lingkungan | Leave a comment

Tugas Minggu Ke-5 (Kepadatan)

A. Pengertian Kepadatan

Definisi kepadatan beberapa ahli :
– Kepadatan menurut Sundstrom (dalam Wrightsman & Deaux, 1981), yaitu sejumlah manusia dalam setiap unit ruangan.
– Sejumlah individu yang berada di suatu ruang atau wilayah tertentu dan lebih bersifat fisik (Holahan, 1982; Heimstra dan McFaring, 1978; Stokols dalam Schmidt dan Keating, 1978).
– Suatu keadaan akan dikatakan semakin padat bila jumlah manusia pada suatu batas ruang tertentu semakin banyak dibandingkan dengan luas ruangannya (Sarwono, 1992).

Penelitian tentang kepadatan manusia berawal dari penelitian terhadap hewan yang dilakukan oleh John Calhoun. Penelitian Calhoun (dalam Worche dan Cooper, 1983) bertujuan untuk mengetahui dampak negatif kepadatan dengan menggunakan hewan percobaan tikus. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya perilaku kanibal pada hewan tikus seiring dengan bertambahnya jumlah tikus. Pertumbuhan populasi yang tak terkendali, memberikan dampak negatif terhadap tikus – tikus tersebut. Terjadi penurunan fisik pada ginjal, otak, hati, dan jaringan kelenjar, serta penyimpangan perilaku seperti hiperaktif, homoseksual, dan kanibal. Akibat keseluruhan dampak negatif tersebut menyebabkan penurunan kesehatan dan fertilitas, sakit, mati, dan penurunan populasi.

Penelitian terhadap manusia pernah dilakukan oleh Bell (dalam Setiadi, 1991) mencoba memerinci: bagaimana manusia merasakan dan bereaksi terhadap kepadatan yang terjadi; bagaimana dampaknya terhadap tingkah laku sosial; dan bagaimana dampaknya terhadap task performance (kinerja tugas)? Hasilnya memperlihatkan ternyata banyak hal-hal yang negatif akibat dari kepadatan, diantaranya :

1. ketidaknyamanan dan kecemasan, peningkatan denyut jantung dan tekanan darah, hingga terjadi penurunan kesehatan atau peningkatan pada kelompok manusia tertentu.

2.peningkatan agresivitas pada anak – anak dan orang dewasa (mengikuti kurva linear) atau menjadi sangat menurun (berdiam diri/murung) bila kepadatan tinggi sekali (high spatial density). Juga kehilangan minat berkomunikasi, kerjasama, dan tolong-menolong sesama anggota kelompok.

3. terjadi penurunan ketekunan dalam pemecahan persoalan atau pekerjaan. Juga penurunan hasil kerja terutama pada pekerjaan yang menuntut hasil kerja yang kompleks.

Dalam penelitian tersebut diketahui pula bahwa dampak negatif kepadatan lebih berpengaruh terhadap pria atau dapat dikatakan bahwa pria lebih memiliki perasaan negatif pada kepadatan tinggi bila dibandingkan wanita. Pria juga bereaksi lebih negatif terhadap anggota kelompok, baik pada kepadatan tinggi ataupun rendah dan wanita justru lebih menyukai anggota kelompoknya pada kepadatan tinggi.

Pembicaraan tentang kepadatan tidak terlepas dari masalah kesesakan. Kesesakan atau crowding merupakan persepsi individu terhadap keterbatasan ruang, sehingga lebih bersifat psikis (Gifford, 1978; Schmidt dan Keating, 1979; Stokois dalam Holahan, 1982). Kesesakan terjadi bila mekanisme privasi individu gagal berfungsi dengan baik karena individu atau kelompok terlalu banyak berinteraksi dengan yang lain tanpa diinginkan individu tersebut (Altman, 1975).

Baum dan Paulus (1987) menerangkan bahwa proses kepadatan dapat dirasakan sebagai kesesakan atau tidak dapat ditentukan oleh penilaian individu berdasarkan empat faktor, yaitu:
a. seting fisik.
b. seting sosial.
c. personal.
d. Kemampuan beradaptasi.

Menurut Altman, variasi indicator kepadatan berhubungan dengan tingkah laku social yaitu:
1.jumlah individu dalam sebuah kota.
2.jumlah individu pada daerah sensus.
3.jumlah individu pada unit tempat tinggal
4.jumlah ruang pada unit tempat tinggal.
5.jumlah bangunan pada lingkungan sekita

B. Kategori Kepadatan

Kategori kepadatan menurut Altman yaitu :
1.kepadatan dalam ( inside density)
jumlah individu yang terdapat pada suatu ruang atau tempat tinggal.
2.kepadatan luar (outside density)
jumlah individu yang berada dalam wilayah tertentu.

Kategori kepadatan menurut Holahan yaitu :
1.kepadatan spatial
yang terjadi bila luas ruangan diubah menjadi lebuh kecil tetapi jumlah individu tetap. Yang terjadi kepadatan meningkat sejalannya menurunnya luas ruangan yang ada.
2.kepadatan social
terjadi bila jumlah individu ditambah tanpa diiringi oleh penambahan luas ruang. Hal yang terjadi adalah kepadatan meningkat sejalan dengan bertambahnya individu.

C. Akibat Kepadatan Tinggi

Akibat dari kepadatan yang tinggi menurut Hamistra dan Mc. Farling yaitu :
1.Fisik, seperti peningkatan detak jantung, tekanan darah yang meningkat, dan lain sebagainya.
2.Akibat social, menyebabkan kenakalan dan tingkat kriminalitas yang tinggi.
Manusiapun menampakan tingkah laku yang menyerupai behavioral sink sebagai akibat dari kepadatan dan kesesakan. Holahan mencatat beberapa gejala sebagai berikut :
a.Dampak pada penyakit dan patologi social
1.reaksi fisiologik, misalya meningkatkan tekanan darah.
2.penyakit fisik, seperti psikosomatik dan meningkatnya angka kematian.
3.patologi social, misalnya meningkatnya kejahatan, bunuh diri, penyakit jiwa, dan tingkat kenakalan pada remaja.

b.Dampak pada tingkah laku social
1.Agresi
2.menarik diri dari lingkungan social
3.berkurangnya tingkah laku menolong
4.cenderung lebih banyak melihat sisi buruk dari orang lain jika terlalu lama tinggal bersama orang lainitu jika berada dalam tempat yang padat dan sesak.

c.Dampak pada hasil usaha dan suasana hati
1.hasil usaha dan prestasi kerja menurun
2.suasana hati cenderung lebih murung.

D. Kepadatan & Perbedaan Budaya

Menurut Koerte (dalam Budihardjo, 1991) faktor-faktor seperti ras, kebiasaan, adat-istiadat, pengalaman masa silam, struktur sosial, dan lain-lain, akan menentukan apakah kepadatan tertentu dapat menimbulkan perasaan sesak atau tidak.

Setiadi (1991) bahwa bangsa Amerika sudah dapat merasakan dampak negatif yang luar biasa pada kepadatan sekitar 1500 orang/Ha, dengan terjadinya banyak penyimpangan perilaku sosial, pembunuhan, perkosaan, dan tindak kriminal lainnya. sementara itu, di jepang dan Hongkong dengan kepadatn 5000 orang/Ha pada bagian kota-kota tertentu, tenyata angka kejahatan/kriminal di sana masih lebih rendah.

Sumber :http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/peng_psikologi_lingkungan/bab4
kepadatan_dan_kesesakan.pdf
http://id.wikipedia.org/wiki/Kepadatan
http://belajarpsikologi.com

Posted in Psikologi Lingkungan | Leave a comment

Tugas Minggu ke-3 dan Minggu ke-4

Metodologi Penelitian dalam  Psikologi Lingkungan

Menurut Veitch dan Arkkelin (1995) terdapat 3 metode penelitian di yang lazim di gunakan di lapangan penelitian psikologi lingkungan. Ketiga metode tersebut, yaitu :
A.      Eksperimen Laboratorium
Menurut Veitch dan Arkkelin, jika seseorang peneliti memiliki perhatian terutama yang berkaitan dengan tingginya validitas internal, maka eksperimen laboratorium adalah pilihan yang biasa di ambil. Metode ini memberi kebebesan kepada eksperimenter untuk memanipulasi secara sistematis variable yang diasumsikan menjadi penyebab dengan cara mengontrol kondisi-kondisi secara cermat yang bertujuan untuk mengurangi variabel-variabel yang mengganggu (extraneous variables). Metode eksperimen laboratorium juga mengukur pengaruh manipulasi-manipulasi tersebut. Metode ini pada umumnya juga melibatkan pemilihan subjek secara random dalam kondisi eksperimen, bahwa setiap subjek memiliki kesempatan yang sama dalam setiap kondisi eksperimen.
Eksperimen tidak dapat memastikan bahwa hasil-hasil penelitian yang dihasilkan dalam situasi yang amat kompleks dapat diterapkan di luar laboratorium. Hal ini berkaitan validitas internal dan validitas eksternal, dimana suatu peningkatan validitas internal cenderung akan mengurangi validitas eksternal.
B.      Studi Korelasi
Menurut Veitch dan Arkkelin, jika seseorang peneliti ingin memastikan tingkat validias eksternal yang tinggi, maka seorang penliti dapat menggunakan variasi-variasi dari metode korelasi. Studi-studi yang menggunkan metode ini dirancang untuk menyediakan informasi tentang hubungan-hubungan diantara hal-hal atau peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam nyata yang tidak dibebani oleh pengaruh pengumpulan data.
Dengan menggunakan metode pengambilan data apapun, penyimpulan dengan menggunkan studi korelasi dapat di peroleh hasil yang berbeda dibandingkan dengan eksperimen laboratorium. Dengan eksperimen laboratorium, kesimpulan yang berkaitan dengan factor-faktor yang menjadi penyebab akan membuahkan hasil yang tepat. Adalah hal yang tidak mungkin untuk menggambarkan kesimpulan yang jelas menjadi penyebab, karena studi korelasi amat lemah dalam validitas internal.
C.      Eksperimen Lapangan
Menurut Veitch dan Arkkelin, jika seseorang peneliti ingin menyeimbangkan antar validitas internal yang dapat dicapai melalui eksperimen laboratorium dengan validitas eksternal yang dapat dicapai melalui studi korelasi, maka ia boleh menggunakan metode campuran yang dikenal dengan istilah eksperimen lapangan. Mtode ini seorang eksperimenter secara sistematis memanipulasi beberapa factor penyebab yang diajukan dalam penelitian dengan mempertimbangkan variabel eksternal dalam suatu seting tertentu.
D.      Teknik-teknik Pengukuran
Agar suatu penelitian akan menjadi ilmiah diperlukan pengamatan-pengamatan yang menggunakan criteria tertentu, yaitu :
·         Berlaku umum dan dapat diulang-ulang,
·         Dapat di kembangkan menjadi skala pengukuran,
·         Memiliki standar validitas dan reliabilitas.
Beberapa teknik pengukuran yang telah memenuhi beberapa criteria berupa mudah dibuat, mudah dalam administrasinya, mudah skoringnya, dan mudah diinterprestasikan. Beberapa teknik tersebut antara lain adalah : (Veitch dan Arkkelin, 1995).
1.       Self report, Metode yang palling sering digunakan dalam mengumpulkan data yang berkaitan dengan individu adalah self report. Dengan cara ini, seorang responden ditanya oleh peneliti hal-hal yang berkaitan dengan opini, kepercayaan, perilaku sikap, dan perasaan. Prosedur self report terdiri dari beragam teknik yang meliputi : kuesioner, wawancara, dan skala penilaian (rating scale).
2.       Kuesioner, Adalah pengembangan yang luas dari teknik paper and pencil report. Butir (item) umumnya diformulasikan berupa pertanyaan dan dapat pula berupa jawaban factual (seperti usia, gender, tingkat penghasilan, tingkat pendidikan dan sebagainya) sebagaimana halnya dengan repon-respon sikap (seperti emosi, nilai-nilai dan kepercayaan).
Terdapat beberapa alasan mengapa digunakan kuesionaer dalam pengumpulan data. Pertama, kuesioner amat mudah dibuat, diadministrasikan, dimengerti, distribusikan, dan disusun. Kuesioner ternyata dapat mengambil subjek dalam jumlah besar pada suatu saat serta mudah mencari responden anonim (yang tidak menyebutkan nama).
Kuesioner yang sudah standar adalah kuesioner yang sudah diujikan sebelumnya sehingga memiliki persyaratan psikometri (validitas dan realibilitas). Sementara itu kuesioner yang tidak standar adalah kuesioner yang tidak diungkap reliabilitasnya.
Selain itu pengukuran dengan cara kuesioner ini umumnya tidak dapat memahami hal-hal potensial ketika diaplikasikan pada konteks yang berbeda. Bahkan para peneliti umumnya mengembangkan dimensi-dimensi bagi informasi yang diperlukan dan kemudian merancangnya sesuai dengan data yang diperlukan.
3.       Wawancara (Interview), Wawancara adalah dialog yang dirancang untuk memperoleh informasi yang dapat dikualifikasikan. Proses wawancara untuk menjadi lebih sekedar percakapan atau sebagaimana disarankan oleh Cannel dan Kahn (Veitch dan Arkkelin, 1995) melibatkan paling tidak 5 langkah yang berbeda : (1) menciptakan atau menyeleksi skedul wawancara (seperangkat pertanyaan, pernyataan, gambar-gambar atau stimulus lainnya yang dapat menimbulkan respon) dan seperangkat aturan main atau prosedur dalam menggunakan skedul tersebut, (2) memimpin jalannya wawancara (pengklasifikasikan dari respon-respon dan peristiwa-peristiwa), (3) merekam respon (mencatat dan merekam dengan alat perekam), (4) menciptakan kode angka (suatu skala atau cara lain yang dapat digunakan untuk merekam respon-respon yang sudah diterjemahkan dalam suatu perangkat atau peraturan), (5) mengkoding respon-respon wawancara.
4.       Skala penilaian, Bentuk tterakhir dari self report yang digunakan para ahli psikologi lingkungan adalah skala penilaian. Skala ini memiliki beragam bentuk, termasuk didalamnya adalah checklist, deskripsi verbal dua kutub, dan skala deskripsi nonverbal.

Sumber : Prabowo, hendro.1998.Pengantar Psikologi Lingkungan.Jakarta.Gunadarma

Ambient Condition


Kebisingan

Menurut Ancok (1989)keadaan bising dan temperatur yang tinggi akan mempengaruhi emosi. Emosi yang tidak terkontrol akan mempengaruhi hubungan sosial didalam maupun diluar rumah.

Menurut Rahardjani (1987) kebisingan juga akan berakibat menurunnya kemampuan mendengar dan turunnya konsentrasi belajar pada anak.

Sarwono (1992) menyebutkan tiga factor yang menyebabkan suara secara psikologis dianggap bising yaitu: Volume, Perkiraan,  Pengendalian

Menurut Holahan (1982) kebisingan dapat menjadi penyebab reaksi fisiologis sistematis yang secara khusus diasosiasikan dengan stress. Sementara menuruk Crook dan Langdon mengatakan terdapat hubungan antara kebisingan dengan aspek-aspek fisik, dan kesehatan mental.

Suhu dan Polusi Udara

Tingginya suhu udara dan polusi udara akan menimbulkan efek penyakit dan efek perilaku sosial seperti meningkatnya mortalitas, menguransi konsentrasi, perhatian serta timbulnya penyakit-penyakit pernafasan .

Rahardjani (1987) melihat bahwa suhu dan kelembaban rumah sangat dipengaruhi beberapa faktor, yaitu: warna dinding, volume ruang, arah sinar matahari, dan jumlah penghuni.

Pencahayaan dan Warna

Menurut Fisher dkk. (1984) terdapat banyak efek pencahayaan yang berkaitan dengan perilaku. Pada dasarnya, cahaya mempengaruhi kinerja kita dalam bekerja dan dapat mempengaruhi suasana hati dan perilaku sosial kita.

Warna

Menurut Heimstra dan MC Farling, warna memiliki tiga dimensi yaitu: kecerahan, corak warna, dan kejenuhan. Sedangkan menurt Holahan (1982) dan Mehrabian &Russel  warna juga mempunyai efek independen terhadap suasana hati, tingkat pembangkitan, dan sikap; dimana ketiganya mempengaruhi kinerja.

ARCHITECTURAL FEATURES

Estetika

Spranger membagi orientasi hidup menjadi 6 kategori, dimana nilai estetis merupakan salah satu siantaranya selain nilai ekonomi, nilai kekuasaan, nilai sosial, nilai religious, dan nilai intelektual. Sedangkan menurut Fisherdkk (1984) salah atu tujuan daridesain adalah memunculkan respon tertentu terhadap seting yang telah disediakan.

Penelitian telah menunjukkan pula bahwa kualitas estetis suatu ruangan dalam konteks keceriaan dan daya tarik dapat mempengaruhi jenis evaluasi yang kita bua ketika berada dalam seting tersebut.

Perabot

Perabot dan pengaturannya dan aspek-aspek lain dari lingkungan ruang merupakan salah satu penentu perilaku yang penting karena dapat mempengaruhi cara orang dalam mempersepsikan ruang tersebut.

sumber :

http://elearning.faqih.net
www.elearning.gunadarma.ac.id

Posted in Psikologi Lingkungan | Leave a comment